TRADISI HENNA DI INDONESIA episode MAKASAR : AKKORONTIGI

Tuesday, July 16, 2013
Akkorontigi
Sehari menjelang pesta pernikahan, rumah calon mempelai wanita telah ditata dan dihiasi sedemikian rupa dengan dekorasi khas makassar, yang terdiri dari:
•    Pelaminan (lamming);
•    Bantal;
•    Sarung sutera sebanyak 7 (tujuh) lembar yang diletakkan di atas bantal;
•    Bombong Unti (Pucuk daun pisang);
•    Leko Panasa (Daun nangka), daun nangka diletakkan di atas pucuk daun pisang secara bersusun terdiri dari 7 atau 9 lembar;
•    Leko’ Korontigi (Daun Pacci), adalah semacam daun tumbuh-tumbuhan (daun pacar) yang ditumbuk halus;
•    Benno’ (Bente), adalah butiran beras yang digoreng tanpa menggunakan minyak hingga mekar;
•    Unti Te’ne (Pisang Raja);
•    Ka’do’ Minnya’ (Nasi Ketan);
•    Kanjoli/Tai Bani (Lilin berwarna merah).

Acara Akkorontigi merupakan suatu rangkaian acara yang sakral yang dihadiri oleh seluruh sanak keluarga (famili) dan undangan. Acara Akkorontigi memiliki hikmah yang mendalam, mempunyai nilai dan arti kesucian dan kebersihan lahir dan batin, dengan harapan agar calon mempelai senantiasa bersih dan suci dalam menghadapi hari esok yaitu hari pernikahannya. Dalam ritual ini, mempelai wanita dipakaikan daun pacar ke tangan si calon mempelai. Masyarakat Makassar memiliki keyakinan bahwa daun pacar memiliki sifat magis dan melambangkan kesucian. Menjelang pernikahan biasanya diadakan malam pacar atau Akkorontigi, yang artinya malam mensucikan diri dengan meletakan tumbukan daun pacar ke tangan calon mempelai. Orang-orang yang diminta meletakkan daun pacar adalah orang-orang yang punya kedudukan sosial yang baik serta memiliki rumah tangga langgeng dan bahagia.

Setelah para undangan lengkap dimana sanak keluarga atau para undangan yang telah dimandatkan untuk meletakkan daun pacar telah tiba, acara dimulai dengan pembacaan barzanji atau shalawat nabi, setelah petugas barzanji berdiri, maka prosesi peletakan daun pacar dimulai oleh Anrong bunting yang kemudian diikuti oleh sanak keluarga dan para undangan yang telah diberi tugas. Satu persatu para handai taulan dan undangan dipanggil didampingi oleh gadis-gadis pembawa lilin yang menjemput mereka dan memandu menuju pelaminan. Acara Akkorontigi ini diakhiri dengan peletakan daun pacar oleh kedua orang tua tercinta dan ditutup dengan doa.

Malam korontigi dilakukan menjelang upacara pernikahan dan diadakan di rumah masing-masing calon mempelai.

sumber :  http://majalahversi.com/makassar/prosesi-pernikahan-ala-adat-makassar

TRADISI HENNA DI INDONESIA episode MELAYU RIAU : BERINAI

BERINAI DI PELAMIN

image 

Sungguhpun adat berinai di pelamin ini tidak lagi dijalankan oleh masyarakat sekarang, akan tetapi masih juga terdapat keluarga yang tetap mengamalkannya. Ini kerana adat menginai ini memerlukan perbelanjaan yang lebih besar dan agak rumit, maka hal ini menyebabkan upacara ini semakin dilupakan. Adat berinai di pelamin ini dilakukan dalam 3 peringkat. Pada kali pertama ia dinamakan berinai curi, pada kali kedua dinamakan berinai kecil dan pada kali ketiga dinamakan berinai besar.Dalam kebanyakan negeri, biasanya adat berinai di pelamin ini dijalankan pada malam hari. Berbeza dengan negeri Johor, upacara ini dijalankan di sebelah petang.Upacara berinai akan dijalankan sebelum upacara akad nikah dan bersanding. Dalam majlis tersebut, anak dara itu akan dipakaikan dengan pakaian yang indah-indah, iaitu pakaian pengantin, lalu dibawa duduk di atas pelamin yang terletak di ruang tamu. Anak dara itu akan duduk di hadapan sekumpulan kaum keluarga dan sahabat handai yang biasanya terdiri daripada kaum perempuan. Bagi upacara berinai curi dan berinai kecil, hanya pengantin perempuan sahaja yang akan duduk di atas pelamin dan diinaikan. Pengantin lelaki akan datang ke rumah pengantin perempuan untuk diinaikan pada upacara berinai besar. Dalam upacara tersebut, pengantin perempuan akan diinai terlebih dahulu di atas pelamin. Setelah selesai, pengantin perempuan akan dibawa masuk ke dalam bilik dan pengantin lelaki pula akan diinaikan di atas pelamin. Ringkasan cara menginai di atas pelamin itu adalah seperti berikut : Di atas pelamin, di hadapan pengantin itu akan diletakkan sebuah pahar berkaki tinggi yang disusun dengan beberapa bekas dan piring, satu berisi beras kunyit, satu berisi bertih dan satu lagi berisi air tepung tawar yang lengkap dengan perenjisnya. Di tengah-tengah pahar itu diletakkan sebiji astakona kecil berisi inai yang sudah siap digiling halus. Pengantin akan diinaikan secara bergilir-gilir oleh ahli keluarga dan upacara akan dimulakan dengan ahli keluarga lelaki yang berpangkat tua-tua seperti datuk, bapa dan bapa saudara. Mula-mula, sejemput beras kunyit akan diambil dari bekas yang di atas pahar tersebut dan dihamburkan ke kiri dan kanan pengantin. Kemudian, diikuti dengan sedikit bertih dan akhir sekali perenjis tepung tawar akan dicicahkan sedikit ke dalam bekas berisi air tepung tawar lalu ditepukkan sedikit ke atas belakang tangan pengantin yang berada di atas ribaan pengantin itu. Akhir sekali, inai akan dicubit sedikit dari astakona inai dan dicalitkan di tapak tangan yang sudah beralas dengan daun sirih. Setelah selesai, emak pengantin akan menyusunkan jari kedua-dua tangan pengantin itu dan diangkatkan ke muka pengantin seperti orang menyembah. Dalam adat ini, bilangan orang lelaki yang hendak menginaikan pengantin mestilah ganjil, iatu tiga, lima atau tujuh orang. Setelah tamat diinaikan oleh orang lelaki, mereka akan keluar daripada majlis itu dan upacara diteruskan oleh orang perempuan dengan cara yang sama juga. Cara yang sama akan dilakukan dalam setiap majlis berinai tidak kira ianya majlis berinai curi, berinai kecil atau berinai besar. Apa yang berbeza hanyalah pengantin lelaki akan turut diinai dalam adat berinai besar. sumber :  http://st301247.sitekno.com/article/44613/berinai-di-pelamin.html

Berinai lebai
Upacara berinai lebai ini biasanya banyak dilakukan pada malam hari dan terbatas kepada kaum Bapak yang terdiri dari Penghulu atau Penua Adat, alim ulama, Tokoh Masyarakat, sehingga pada upacara ini kaum ibu hanya diperkenankan untuk menyaksikan saja.
Pada upacara bernai lebai ini atas kesepakatan pemuka adat dan alim ulama, maka diputusakan bahwa orang tua kandung dari kedua belah pihak tidak diperkenankan untuk melakukantepung tawar,hal ini di karenakan setiap orang tua senantiasa mendoakan keselamatan anaknya. Selain itu pada upacara cecah inai ini akhir daripada urutan kegiatanya adalah mengankat kedua tangan sebagai isyarat menyembah raja sehari. Dengan kata lain tidaklah pantas seorang ayah mengangkat sembah kepada anaknya.
Alasan lain adalah julukan atau gelar yang diberikan kepada lebai oleh masyarakat melayu Bengkalis hanyalah kepada kaupak dan tidak terhadap kaum ibu. Sebagai wujud rasa syukur masyarakat melayu Bengkalis hampir disetiap kegiatan atau upacara diakhiri dengan pembacaan doa serta makan bersama.Peralatan berinai lebai berada berbeda sedikit jika dibandingkan dengan peralatan tepuk tepung tawar. Dimana peralatanya terdiri dari air bedak, beras basuh, beras kunyit, bunga rampai, bertih, air mawar dan inai, sementaraperalatan tepung tawar inai tidak disertakan.
Berinai lebai selalu dihadiri oleh banyak orang dandismarakan dengan musik tradisional Seperti gendang Panjang, Nafiri dan Gong :Sebagaimana kata bidal :. Adapun tata cara pelaksanaan berinai lebai, dilakukan secara bergiliran oleh penghulu adt, pemuka adat, alim ulama dan sanak keluarga dalam jumlah yang ganjil baik terhadap mempelai laki-laki begitujuga mempelai perempuan.Pelakasanaan berinai lebai ini dilakukan sesuai dengan derajat atau keturunan kebangsawananya, seperti terhadap keturunan Raja atau Tengku yang melakukan cecah inai sebanyak sembilan orang, jika keturunan Datuk, Wan dan Batin dilakukan sebanyak tujuh orang dan apabila keturunan orang kebanyak maka melakukan cecah inai hanya sebatas lima orang.
Berinai lebai dilaksanakan ketika mempelai telah berada dipeterakna atau pentas pelamainan. Satu persatu mereka maju kemudian duduk pada kursi yang telah bersedia dipeterakna. Setelah selesai mencecah ianai terhadap mempelai laki-lai, gading-gading membawa mempelai laki-laki menuju keruang istirahat. Sementara Mak Andam membawa mempelai perempuan menuju peterakna. Gendang , nafari dan gong kembali berbunyi, upacara berinai lebai pun kembali dimulai.Diawali dengan menyapu air bedak sejuk ketangan mempelai, disusuli menabur beras putih, beras kunyit, bertih dan dilanjutkan dengan menabur bunga rampai, mencecah ianai serta diakhiri dengan merenjis air mawar kearah mempelai. Dan sebelum  meninggalkan pentas peterakna yang melakukan cecah inai diharuskan mengangkat sembah dengan mengankat kedua tangan terhadap mempelai. Selesai melaksanakan cecah inai tokoh adat, alim ulama, pemuka adat dan sanak keluarga yang melakukan cecah inai diberikan kue berkat, nasi kunyit dan telur ayam yang telah direbus bewarna merah. Menurut masyarakat Melayu Bengkalis, apabila kedua mempelai janda atau duda maka upacara berianai lebai dilaksanakan secara serentak terhadap kedua mempelai, dengan kata lain duduk secara bersamaan. Berinai lebai bagi masyarakat melayu dulunya mempunyai makna yang cukup besar. Melalui upacara berinai lebai dapat membedakan status perawan maupun janda, jejaka maupun duda, anak tempatan ataupun anak dagang.
Jika mempelai laki-laki bukan penduduk tempatan, maka upacara berinai lebai dilaksanakan pada satu rumah yakni dirumah mempelai perempuan. Tetapi bila kedua-duanya penduduk tempatan, maka upacara berinai lebai dilakasanakan dirumah masing-masing. Namun atsa kesepakatan dan keinginan dari kedua belah pihak, pelaksanaan cecah inai dapat dilakukan dua kali, yakni pertama dirumah mempelai perempuan dan kedua dirumai mempelai laki-laki.  Tahapan demi tahapan telah dilalui namun upacara adat pernikahan belum lagi selesai. Upacara berikutnya yang harus dilakukan oleh mepelai perempuan adalah Khatam Alquran.
 
sumber :  http://praktekjurnalistik.blogspot.com/2012/06/adat-berinai.html
bisa lihat jg artikel di : 
http://melayuonline.com/ind/culture/dig/1545#bag4b
http://www.scribd.com/doc/75410100/Tata-Cara-Pernikahan-Adat-Melayu-Riau
 
 

TRADISI HENNA DI INDONESIA episode BIMA NTB : MALAM KAPANCA

Upacara malam kapanca
Sehari sebelum hari H, tepatnya pada malam hari sebelum akad nikah, di rumah calon pengantin wanita akan dilakukan acara yang disebut dengan malam kapanca yaitu acara pemberian daun pacar atau inai untuk calon pengantin. Acara ini dilakukan oleh para ibu yang secara bergantikan akan memasangkan lumatan daun pacar pada calon pengantin wanita. Tidak hanya di bagian kuku tetapi juga pada telapak tangan yang jumlahnya harus ganjil, tujuh atau sembilan.

Acara ini dilakukan sambil berzikir yang dimaksudkan untuk memohon restu agar nantinya dalam rumah tangga calon pengantin wanita dapat mendatangkan kedamaian dan memberi kebahagiaan. Dengan adanya tanda merah inai di tangan calon pengantin wanita maka hal ini menandakan bahwa dirinya sudah ada yang punya dan pada esok hari akan segera melangsungkan akad nikah.

Saat upacara kapanca ini, calon pengantin wanita akan dirias layaknya riasan pengantin serta memakai pakaian adat lalu didudukkan di tengah tamu yang hadir. Upacara kapanca ini juga dimaksudkan untuk memberi contoh kepada para tamu, khususnya gadis-gadis yang hadir di malam itu, untuk dapat segera mengikuti jejak calon pengantin wanita mengakhiri masa lajang. Upacara kapanca ini menjadi dambaan para ibu di mana mereka juga mengharapkan agar putrinya kelak dapat segera melewati upacara yang sama.

Sebelum acara malam kapanca, calon pengantin wanita harus terlebih dulu melakukan acara sangongo yaitu upacara mandi uap dengan beraneka rempah dan bunga-bungaan. Setelah itu diadakan acara siraman yang disebut boho oi ndeu. Selanjutnya masih di rumah calon pengantin wanita, akan dilakukan acara cafi ra hambu maru kai yaitu membersihkan, menata dan merias kamar pengantin.

Setelah semua acara selesai dilakukan, termasuk upacara malam kapanca dan acara-acara lainnya, selanjutnya diadakan acara rawa mbojo yaitu semacam nyanyian tradisional masyarakat Bima yang syairnya berupa pantun nasihat untuk calon pengantin sambil diiringi suara alat musik biola. Acara ini biasanya berlangsung sampai pagi menjelang.


sumber  : http://thehouseofseserahan.blogspot.com/2011/01/tata-cara-pernikahan-adat-bima-ntb.html

bisa baca juga artikel di :  http://www.ronamasa.com/2012/10/sinopsis-acara-kapanca-tradisi.html

Acara Kapanca Tradisi Pesta Perkawinan Rakyat Bima

10/14/2012 : 0 komentar
 1 0 0 0
Bima yang juga dikenal dengan Dana Mbojo dirintis oleh Sultan keturunan kerajaan Gowa, Sultan Abdul Kahir I sejak 1625 M. Namun Sultan Abdul Kahir I dinobatkan sebagai Raja Bima pertama pada 5 Juli 1640 Masehi.

Walaupun Bima sudah dimasuki kehidupan modern saat ini namun tidak melupakan begitu saja tradisi dan budaya warisan leluhurnya. Hal ini terbukti hingga saat ini Bupati Bima, Ferry Zulkarnain yang masih memiliki darah kesultanan Bima tetap menjaga dan melestarikan adat yang sudah berjalan beratus-ratus lamanya.

Pesta pernikahan-Kapanca Mbojo Bima
Pesta pernikahan Mbojo-Bima
(Foto: Ronamasa/Ahyar)
Salah satu tradisi warisan yang melekat dan dibudayakan hingga saat ini adalah pesta kapanca. Bentuk nyata keseriusan melestarikan budaya tempo dulu, pemerintah Kabupaten Bima mewajibkan warga masyarakat yang melangsungkan acara pernikahan anaknya mengadakan acara pesta kampanca.

Acara pesta Kampanca merupakan tradisi upacara perkawinan pada malam hari dilaksanakan di rumah pengantin perempuan. Pengantin perempuan sebelum dibawa ke paruga tempat berlangsungnya acara didandan secantik mungkin oleh inang pengasuh (penata rias). Pengantin wanita dibawa ke tempat acara duduk diatas kursi yang dijunjung oleh dua orang pria dan diiringi lantunan dzikir syair lagu bahasa arab khas rebana.

Sebelum acara lumuran daun pacar pada kaki dan telapak pada pengantin wanita diawali acara sangongo atau mandi uap dengan bunga-bunga, acara boho oi mbaru atau siraman. Boho Oi mbaru dilakukan Inang Pengasuh Pengantin sebelum pengantin wanita di rias dan dibawah singgasana Ratu semalam.

Sebaiknya acara ini diikuti oleh Ibu-ibu dan remaja lainnya agar mengikuti jejak calon pengantin wanita yang sedang mempersiapkan diri menjadi seorang Ratu yang akan mengakhiri masa lajangnya. Sehingga mereka dapat mengambil hikmahnya dalam mengakhiri masa lajangnya kelak.

Dalam hal ini tergambar adanya rangkaian bunga-bunga telur yang pada saatnya nanti akan duperuntukan pada Ibu-ibu undangan yang masih memiliki anak gadisnya, yaitu telurnya untuk dikonsumsi anak gadisnya sedangkan rangkaian bunga dijadikan hiasan pada kamar anak gadisnya.

Itulah sebabnya upacara kapanca ini merupakan dambaan para ibu dalam masyarakat Bima, di mana mereka mengharapkan puteri-puteri mereka segera melewati upacara yang sama yang menandai hari bahagia mereka seperti malam ini, maksud dan tujuan pengantin wanita dilumuti dengan daun pacar pada kuku kaki, tangan dan telapak tangan pengantin wanita tadi menandakan diri mereka yang tadinya bermanja-manja dengan memanjakan kukunya dan bermalas-malasan, sehingga mulai detik ini tangan dan kaki yang mulus ini dikotori dengan daun pacar ini memberitahukan kepada kita semua anak kita ini/adik kita ini mulai berkerja keras dan rajin demi mencapai rumah tangga yang bahagia dan sejahtera mawadah warahmah dunia akhirat.
- See more at: http://www.ronamasa.com/2012/10/sinopsis-acara-kapanca-tradisi.html#sthash.7wUjj1HS.dpuf

Acara Kapanca Tradisi Pesta Perkawinan Rakyat Bima

10/14/2012 : 0 komentar
 1 0 0 0
Bima yang juga dikenal dengan Dana Mbojo dirintis oleh Sultan keturunan kerajaan Gowa, Sultan Abdul Kahir I sejak 1625 M. Namun Sultan Abdul Kahir I dinobatkan sebagai Raja Bima pertama pada 5 Juli 1640 Masehi.

Walaupun Bima sudah dimasuki kehidupan modern saat ini namun tidak melupakan begitu saja tradisi dan budaya warisan leluhurnya. Hal ini terbukti hingga saat ini Bupati Bima, Ferry Zulkarnain yang masih memiliki darah kesultanan Bima tetap menjaga dan melestarikan adat yang sudah berjalan beratus-ratus lamanya.

Pesta pernikahan-Kapanca Mbojo Bima
Pesta pernikahan Mbojo-Bima
(Foto: Ronamasa/Ahyar)
Salah satu tradisi warisan yang melekat dan dibudayakan hingga saat ini adalah pesta kapanca. Bentuk nyata keseriusan melestarikan budaya tempo dulu, pemerintah Kabupaten Bima mewajibkan warga masyarakat yang melangsungkan acara pernikahan anaknya mengadakan acara pesta kampanca.

Acara pesta Kampanca merupakan tradisi upacara perkawinan pada malam hari dilaksanakan di rumah pengantin perempuan. Pengantin perempuan sebelum dibawa ke paruga tempat berlangsungnya acara didandan secantik mungkin oleh inang pengasuh (penata rias). Pengantin wanita dibawa ke tempat acara duduk diatas kursi yang dijunjung oleh dua orang pria dan diiringi lantunan dzikir syair lagu bahasa arab khas rebana.

Sebelum acara lumuran daun pacar pada kaki dan telapak pada pengantin wanita diawali acara sangongo atau mandi uap dengan bunga-bunga, acara boho oi mbaru atau siraman. Boho Oi mbaru dilakukan Inang Pengasuh Pengantin sebelum pengantin wanita di rias dan dibawah singgasana Ratu semalam.

Sebaiknya acara ini diikuti oleh Ibu-ibu dan remaja lainnya agar mengikuti jejak calon pengantin wanita yang sedang mempersiapkan diri menjadi seorang Ratu yang akan mengakhiri masa lajangnya. Sehingga mereka dapat mengambil hikmahnya dalam mengakhiri masa lajangnya kelak.

Dalam hal ini tergambar adanya rangkaian bunga-bunga telur yang pada saatnya nanti akan duperuntukan pada Ibu-ibu undangan yang masih memiliki anak gadisnya, yaitu telurnya untuk dikonsumsi anak gadisnya sedangkan rangkaian bunga dijadikan hiasan pada kamar anak gadisnya.

Itulah sebabnya upacara kapanca ini merupakan dambaan para ibu dalam masyarakat Bima, di mana mereka mengharapkan puteri-puteri mereka segera melewati upacara yang sama yang menandai hari bahagia mereka seperti malam ini, maksud dan tujuan pengantin wanita dilumuti dengan daun pacar pada kuku kaki, tangan dan telapak tangan pengantin wanita tadi menandakan diri mereka yang tadinya bermanja-manja dengan memanjakan kukunya dan bermalas-malasan, sehingga mulai detik ini tangan dan kaki yang mulus ini dikotori dengan daun pacar ini memberitahukan kepada kita semua anak kita ini/adik kita ini mulai berkerja keras dan rajin demi mencapai rumah tangga yang bahagia dan sejahtera mawadah warahmah dunia akhirat.
- See more at: http://www.ronamasa.com/2012/10/sinopsis-acara-kapanca-tradisi.html#sthash.7wUjj1HS.dpuf
 
Bima yang juga dikenal dengan Dana Mbojo dirintis oleh Sultan keturunan kerajaan Gowa, Sultan Abdul Kahir I sejak 1625 M. Namun Sultan Abdul Kahir I dinobatkan sebagai Raja Bima pertama pada 5 Juli 1640 Masehi.

Walaupun Bima sudah dimasuki kehidupan modern saat ini namun tidak melupakan begitu saja tradisi dan budaya warisan leluhurnya. Hal ini terbukti hingga saat ini Bupati Bima, Ferry Zulkarnain yang masih memiliki darah kesultanan Bima tetap menjaga dan melestarikan adat yang sudah berjalan beratus-ratus lamanya.

Pesta pernikahan-Kapanca Mbojo Bima
Pesta pernikahan Mbojo-Bima
(Foto: Ronamasa/Ahyar)
Salah satu tradisi warisan yang melekat dan dibudayakan hingga saat ini adalah pesta kapanca. Bentuk nyata keseriusan melestarikan budaya tempo dulu, pemerintah Kabupaten Bima mewajibkan warga masyarakat yang melangsungkan acara pernikahan anaknya mengadakan acara pesta kampanca.

Acara pesta Kampanca merupakan tradisi upacara perkawinan pada malam hari dilaksanakan di rumah pengantin perempuan. Pengantin perempuan sebelum dibawa ke paruga tempat berlangsungnya acara didandan secantik mungkin oleh inang pengasuh (penata rias). Pengantin wanita dibawa ke tempat acara duduk diatas kursi yang dijunjung oleh dua orang pria dan diiringi lantunan dzikir syair lagu bahasa arab khas rebana.

Sebelum acara lumuran daun pacar pada kaki dan telapak pada pengantin wanita diawali acara sangongo atau mandi uap dengan bunga-bunga, acara boho oi mbaru atau siraman. Boho Oi mbaru dilakukan Inang Pengasuh Pengantin sebelum pengantin wanita di rias dan dibawah singgasana Ratu semalam.

Sebaiknya acara ini diikuti oleh Ibu-ibu dan remaja lainnya agar mengikuti jejak calon pengantin wanita yang sedang mempersiapkan diri menjadi seorang Ratu yang akan mengakhiri masa lajangnya. Sehingga mereka dapat mengambil hikmahnya dalam mengakhiri masa lajangnya kelak.

Dalam hal ini tergambar adanya rangkaian bunga-bunga telur yang pada saatnya nanti akan duperuntukan pada Ibu-ibu undangan yang masih memiliki anak gadisnya, yaitu telurnya untuk dikonsumsi anak gadisnya sedangkan rangkaian bunga dijadikan hiasan pada kamar anak gadisnya.

Itulah sebabnya upacara kapanca ini merupakan dambaan para ibu dalam masyarakat Bima, di mana mereka mengharapkan puteri-puteri mereka segera melewati upacara yang sama yang menandai hari bahagia mereka seperti malam ini, maksud dan tujuan pengantin wanita dilumuti dengan daun pacar pada kuku kaki, tangan dan telapak tangan pengantin wanita tadi menandakan diri mereka yang tadinya bermanja-manja dengan memanjakan kukunya dan bermalas-malasan, sehingga mulai detik ini tangan dan kaki yang mulus ini dikotori dengan daun pacar ini memberitahukan kepada kita semua anak kita ini/adik kita ini mulai berkerja keras dan rajin demi mencapai rumah tangga yang bahagia dan sejahtera mawadah warahmah dunia akhirat.
- See more at: http://www.ronamasa.com/2012/10/sinopsis-acara-kapanca-tradisi.html#sthash.7wUjj1HS.dpuf

Acara Kapanca Tradisi Pesta Perkawinan Rakyat Bima

10/14/2012 : 0 komentar
 1 0 0 0
Bima yang juga dikenal dengan Dana Mbojo dirintis oleh Sultan keturunan kerajaan Gowa, Sultan Abdul Kahir I sejak 1625 M. Namun Sultan Abdul Kahir I dinobatkan sebagai Raja Bima pertama pada 5 Juli 1640 Masehi.

Walaupun Bima sudah dimasuki kehidupan modern saat ini namun tidak melupakan begitu saja tradisi dan budaya warisan leluhurnya. Hal ini terbukti hingga saat ini Bupati Bima, Ferry Zulkarnain yang masih memiliki darah kesultanan Bima tetap menjaga dan melestarikan adat yang sudah berjalan beratus-ratus lamanya.

Pesta pernikahan-Kapanca Mbojo Bima
Pesta pernikahan Mbojo-Bima
(Foto: Ronamasa/Ahyar)
Salah satu tradisi warisan yang melekat dan dibudayakan hingga saat ini adalah pesta kapanca. Bentuk nyata keseriusan melestarikan budaya tempo dulu, pemerintah Kabupaten Bima mewajibkan warga masyarakat yang melangsungkan acara pernikahan anaknya mengadakan acara pesta kampanca.

Acara pesta Kampanca merupakan tradisi upacara perkawinan pada malam hari dilaksanakan di rumah pengantin perempuan. Pengantin perempuan sebelum dibawa ke paruga tempat berlangsungnya acara didandan secantik mungkin oleh inang pengasuh (penata rias). Pengantin wanita dibawa ke tempat acara duduk diatas kursi yang dijunjung oleh dua orang pria dan diiringi lantunan dzikir syair lagu bahasa arab khas rebana.

Sebelum acara lumuran daun pacar pada kaki dan telapak pada pengantin wanita diawali acara sangongo atau mandi uap dengan bunga-bunga, acara boho oi mbaru atau siraman. Boho Oi mbaru dilakukan Inang Pengasuh Pengantin sebelum pengantin wanita di rias dan dibawah singgasana Ratu semalam.

Sebaiknya acara ini diikuti oleh Ibu-ibu dan remaja lainnya agar mengikuti jejak calon pengantin wanita yang sedang mempersiapkan diri menjadi seorang Ratu yang akan mengakhiri masa lajangnya. Sehingga mereka dapat mengambil hikmahnya dalam mengakhiri masa lajangnya kelak.

Dalam hal ini tergambar adanya rangkaian bunga-bunga telur yang pada saatnya nanti akan duperuntukan pada Ibu-ibu undangan yang masih memiliki anak gadisnya, yaitu telurnya untuk dikonsumsi anak gadisnya sedangkan rangkaian bunga dijadikan hiasan pada kamar anak gadisnya.

Itulah sebabnya upacara kapanca ini merupakan dambaan para ibu dalam masyarakat Bima, di mana mereka mengharapkan puteri-puteri mereka segera melewati upacara yang sama yang menandai hari bahagia mereka seperti malam ini, maksud dan tujuan pengantin wanita dilumuti dengan daun pacar pada kuku kaki, tangan dan telapak tangan pengantin wanita tadi menandakan diri mereka yang tadinya bermanja-manja dengan memanjakan kukunya dan bermalas-malasan, sehingga mulai detik ini tangan dan kaki yang mulus ini dikotori dengan daun pacar ini memberitahukan kepada kita semua anak kita ini/adik kita ini mulai berkerja keras dan rajin demi mencapai rumah tangga yang bahagia dan sejahtera mawadah warahmah dunia akhirat.
- See more at: http://www.ronamasa.com/2012/10/sinopsis-acara-kapanca-tradisi.html#sthash.7wUjj1HS.dpuf

TRADISI HENNA DI INDONESIA episode KUTAI : BERPACAR

UPACARA BEPACAR / BEPACAR CEREMONY

Pacar adalah terbuat dari bahan daun pacar yang ditumbuk halus dan diberi bentuk bundar seperti kelereng kemudian dengan suatu upacara diletakan keujung jari telunjuk dan jari manis masing – masing mempelai, kemudian ( kurang lebih 6 jam ) bila pacar dilepas akan meninggalkan bekas warna merah, pelaksanaan upacara bepacar sebagai berikut. PACAR is made from the plant’s leaves producing red color liquid to beutify fingernails. The leaves are grounded fine and are formed round like marbels. With a ceremony the grounded leaves are stuck to the bride dan the bridegroom. After 6 hours the leaves will leave red colors to the fingers. Implementation of this Bepacar Ceremony is a follows :
  1. Pacar dari mempelai pria maupun wanita ditempatkan dalam wadah tradisional kemudian dipertukarkan dan diarak ketempat mempelai masing – masing yang diramalkan dengan barisan rebana / hadrah. Pacar leaves for the bride and the bridegroom are placed on the traditional bowls. They are exchanged one another and are paraded around to each of the bride and the brideroom’s house accompained by procession of islamic tambourines.
  2. Kedua mempelai ditempatkan dikediaman masing – masing didudukan diatas dtilam kesturi dengan segala kelengkapan adat lainnya. Sementara pembacaan berjanji dilangsungkan, upacara bepacar tersebut dilakukan oleh sesepuh dari keluarga secara bergilir lima atau tujuh orang. Both bridegroom in his / her own house is seated on a perfumed matres completed with a number of traditional equipment while the verses of the prophet’s history called “ Barjanzi “ is being recited, the ceremony. It is the oldest person who should initiate followed by the other five to seven people in turns.
  3. Makna Upacara adat Bepacar adalah. Intention of this ceremony is :
  4. Sebagai kelengkapan hiasan untuk naik pengantin perkawinan. To serve as an accessory complement before an appropriate wedding ceremony is initiated.
  5. Sebagai Syi’ar kepada masyarakat sekitarnya, tanda kedua mempelai adalah pasangan pengantin baru. To inform the surounding community that both persons have become a new married couple.
  6. Biasanya upacara ini dilangsungkan berturut – turur tiga / lima malam atau satu malam saja. Normally the ceremony is respectively conducted three days, five days or one night only.

    sumber :  http://kemindu.8k.com/KAWIN.htm

    UPACARA BERPACAR PADA PERNIKAHAN ADAT KUTAI
    Pacar terbuat dari bahan daun pacar yang ditumbuk halus dan diberi bentuk bundar seperti kelereng kemudian dengan suatu upacara diletakan keujung jari telunjuk dan jari manis masing – masing mempelai, kemudian ( kurang lebih 6 jam ) bila pacar dilepas akan meninggalkan bekas warna merahBila pacar kemudian dilepas akan meninggalkan bekas warna merah. Pelaksanaan Upacara Bepacar adalah sebagai berikut:

    Pacar dari mempelai pria maupun mempelai wanita di tempatkan dalam wadah tradisional, kemudian dipertukarkan dan diarak ke tempat ketempat mempelai masing – masing yang diramaikan dengan barisan rabana/hadra. Kemudian kedua mempelai ditempat pelaminan masing-masing didudukan di atas tilam kasturi dengan segala kelengkapan adat lainnya. Sementara pembaca berjanji dilangsungkan Makna Upacara adat Bepacar adalah.

    1.   Sebagai kelengkapan hiasan untuk naik pengantin perkawinan.


    2.    Sebagai Syi’ar kepada masyarakat sekitarnya, tanda kedua mempelai adalah pasangan pengantin baru.


    3. Biasanya upacara ini dilangsungkan berturut – turur tiga / lima malam atau satu malam saja......sumber :
    http://www.visitingkutaikartanegara.com/depan?module=daya_tarik&sub=seni_dan_budaya&halaman=2

TRADISI HENNA DI INDONESIA episode PADANG, MINANGKABAU : MALAM BAINAI

Monday, July 15, 2013
Malam Bainai
Bainai artinya melekatkan tumbukan halus daun pacar merah yang dalam istilah Sumatera Barat disebut daun inai ke kuku-kuku jari calon pegantin wanita. Bisa dilakukan oleh siapa saja. Mandi-mandi dilaksanakan oleh perempuan-perempuan tua, maka acara Bainai bisa oleh yang muda-muda pria dan wanita. Jumlahnya juga harus ganjil, 7 atau 9 orang.
Tumbukan halus daun inai ini kalau dibiarkan lekat semalam, akan meninggalkan bekas warna merah yang cemerlang pada kuku.
Filosofinya : Melindugi si calon pengantin wanita dari segala kejadian yang dapat mengganggu lancarnya perjalanan acara-acara yang akan dilaksanakan, baik yang didatangkan oleh manusia yang dengki maupun oleh setan-setan.
Ada kepercayaan orang-orang tua tempo dulu, keinginan-keinginan jahat dari seseorang dapat dimasukan melalui ujung-ujung jari. Karena itu ujung-ujung jari harus dilindungi dengan warna merah. Tapi lepas dari itu, pekerjaan memerahkan kuku bagi wanita sekarang ternyata juga merupakan bagian dari element kecantikan.
Lazimnya dan seterusnya acara ini dilangsungkan malam hari sebelum besok paginya calon anak daro melangsungkan akad nikah.
Tujuan :
1. Untuk membersihkan dan mensucikan si Calon Pengantin secara lahiriah dan badaniah. Serta untuk melakukan berbagai usaha agar si calon Pengantin nampak lebih cantik dan cemerlang selam pesta-pesta perkawinannya.
2. Untuk memberi kesempatan seluruh keluarga terdekat berkumpul menunjukan kasih saying dan memberikan doa restunya kepada si Calon Pengantin .


Tata cara
1. Babako-Babaki :
Keluarga pihak ayah yang dalam sistim kekerabatan Matrilinial Minang disebut Bako yang berperan penting dalam acara ini. Mereka datang lebih awal membawa segala perlengkapn yang diperlukan untuk acara serta sekalian membawa barang-barang bawaan pemberian pihak Bako untuk si Calon Anak daro. Penyerahan segala barang-barang bawaan bako ini kepada pihak keluarga pengantin wanita dilakukan secara resmi.
Filosofinya : Ringan sama dijinjing-Berat sama dipikul.


2. Sitawa Sidingin :
Jika semua keluarga terdekat telah hadir termasuk juga keluarga-keluarga terdekat Calon Pengantin Pria, maka dilangsungkan acara mandi-mandi secara simbolis dengan memercikkan air dengan ramuan 7 kembang. Air ini dipercikan kecuali oleh Ayah Bundanya juga oleh perempuan-perempuan tua atau sudah berkeluarga dilingkungan kelurga Bako- keluarga Ayah-Ibu dan keluarga Calon Besan. Jumlahnya harus ganjil-7 atau 9 orang.
Si calon Pengantin wanita didudukan pada satu tempat khusus dengan dipayungi dengan paying kuning oleh seorang dari saudara-saudara kandungnya yang laki-laki.
Filosofinya : kehormatan dan keselamatan seorang wanita berada dibawah lindungan saudaranya yang laki-laki yang dalam struktur kekeluargaan Minang akan menjadi mamak bagi anak-anak yang akan dilahirkan nanti.
Selain itu 2 orang Wanita saudara-saudara ibunya akan mendampingi dengan memegang kain Simpai .
Filosofinya : Keluarga-keluarga wanita dari pihak ibu ikut bertanggung jawab melindungi ponakan-ponakannya yang wanita dari segala aib dan gunjingan orang.


3. Manapak Jajakan kunigan :

Di beberapa nagari di Sumatera Barat acara malam bainai ini sering juga diawali lebih dahulu dengan acara mandi-mandi yang akan dilaksanakan khusus oleh wanita-wanita di siang hari atau sore harinya.
Maksudnya kira-kira sama dengan siraman dalam tradisi Jawa..
Jika kita simpulkan maka hakikat dari kedua acara ini untuk zaman kini mempunyai tujuan dan makna sebagai berikut :
1. Untuk mengungkapkan kasih saying keluarga kepada sang dara yang akan meninggalkan masa remajanya.
2. Untuk memberikan doa restu kepada calon pengantin yang segera akan membina kehidupan baru berumah tangga.
3. Untuk menyucikan diri calon pengantin lahir dan batin sebelum ia melaksanakan acara yang sacral, yaitu akad nikah,
4. Untuk membuat anak gadis kelihatan lebih cantik, segar dan cemerlang selama ia berdandan sebagai anak daro dalam perhelatan-perhelatannya.
Acara mandi-mandi secara simbolik ini harus diawali oleh ibunya dan diakhiri oleh Ayahnya. Setelah itu kedua ibu-Bapak menggandeng puterinya dengan penuh kasih saying secara pelan-pelan membawa menapak di atas kain jajakan kuning yang terentang antara tempat acara mandi-mandi dengan pelaminan dimana acara Bainai yang dilaksanakan.
Filosofinya : Bimbingan terakhir dari seorang ayah dan ibu yang telah membesarkan puterinya dengan penuh kehormatan, karena setelah menikah maka yang akan membimbingnya lagi adalah suaminya.
Demikianlah seluruh rangkaian acara malam bainai dan upacara ini seluruhnya dipandu oleh 2 orang wanita yang dalam istilah Minang disebut UCI-UCI.


sumber :  http://palantaminang.wordpress.com/perkawinan

Malam Bainai

 Secara harfiah bainai artinya melekatkan tumbukan halus daun pacar merah yang dalam istilah Sumatera Barat disebut daun inai ke kuku-kuku jari calon pengantin wanita. Tumbukan halus daun inai ini kalau dibiarkan lekat semalam, akan meninggalkan bekas warna merah yang cemerlang pada kuku. Lazimnya dan seharusnya acara ini dilangsungkan malam hari sebelum besok paginya calon anak daro melangsungkan akad nikah. Apa sebab demikian ? Pekerjaan mengawinkan seorang anak gadis untuk pertama kalinya di Minangkabau bukan saja dianggap sebagai suatu yang sangat sakral tetapi juga kesempatan bagi semua keluarga dan tetangga untuk saling menunjukkan partisipasi dan kasih sayangnya kepada keluarga yang akan berhelat. Karena itu jauh-jauh hari dan terutama malam hari sebelum akad nikah dilangsungkan semua keluarga dan tetangga terdekat tentu akan berkumpul di rumah yang punya hajat. Sesuai dengan keakraban masyarakat agraris mereka akan ikut membantu menyelesaikan berbagai macam pekerjaan, baik dalam persiapan di dapur maupun dalam menghias ruangan-ruangan dalam rumah. Pada kesempatan inilah acara malam bainai itu diselenggarakan, dimana seluruh keluarga dan tetangga terdekat mendapat kesempatan untuk menunjukkan kasih sayang dan memberikan doa restunya melepas dara yang besok pagi akan dinikahkan. Selain dari tujuan, menurut kepercayaan orang-orang tua dulu pekerjaan memerahkan kuku-kuku jari calon pengantin wanita ini juga mengandung arti magis. Menurut mereka ujung-ujung jari yang dimerahkan dengan daun inai dan dibalut daun sirih, mempunyai kekuatan yang bisa melindungi si calon pengantin dari hal-hal buruk yang mungkin didatangkan manusia yang dengki kepadanya. Maka selama kuku-kukunya masih merah yang berarti juga selama ia berada dalam kesibukan menghadapi berbagai macam perhelatan perkawinannya itu ia akan tetap terlindung dari segala mara bahaya. Setelah selesai melakukan pesta-pesta pun warna merah pada kuku-kukunya menjadi tanda kepada orang-orang lain bahwa ia sudah berumah tangga sehingga bebas dari gunjingan kalau ia pergi berdua dengan suaminya kemana saja. Kepercayaan kuno yang tak sesuai dengan tauhid Islam ini, sekarang cuma merupakan bagian dari perawatan dan usaha untuk meningkatkan kecantikan mempelai perempuan saja. Tidak lebih dari itu. Memerahkan kuku jari tidak punya kekuatan menolak mara bahaya apa pun, karena semua kekuatan adalah milik Allah semata-mata. Dibeberapa nagari di Sum Bar acara malam bainai ini sering juga diawali lebih dahulu dengan acara mandi-mandi yang dilaksanakan khusus oleh wanita-wanita disiang hari atau sore harinya. Maksudnya kira-kira sama dengan acara siraman dalam tradisi Jawa. Calon anak daro dibawa dalam arak-arakan menuju ke tepian atau ke pincuran tempat mandi umum yang tersedia dikampungnya. Kemudian perempuan-perempuan tua yang mengiringkan termasuk ibu dan neneknya, setelah membacakan doa, secara bergantian memandikan anak gadis yang besok akan dinobatkan jadi pegantin itu. Jika kita simpulkan maka hakikat dari kedua acara ini untuk zaman kini mempunyai tujuan dan makna sbb:
  1. Untuk mengungkapkan kasih sayang keluarga kepada sang dara yang akan meninggalkan masa remajanya,
  2. Untuk memberikan doa restu kepada calon pengantin yang segera akan membina kehidupan baru berumahtangga,
  3. Untuk menyucikan diri calon pengantin lahir dan batin sebelum ia melaksanakan acara yang sakral, yaitu akad nikah,
  4. Untuk membuat anak gadis kelihatan lebih cantik, segar dan cemerlang selama ia berdandan sebagai anak daro dalam perhelatan-perhelatannya.
 Bagi orang-orang Minang yang mengawinkan anak gadisnya di Jakarta, acara-acara ini juga sudah lazim dilaksanakan. Tetapi untuk efisiensi waktu dan pertimbangan-pertimbangan lain seringkali kedua acara tersebut pelaksanaannya digabung menjadi satu. Acara mandi-mandipun dibuat praktis tanpa harus benar-benar mengguyur si calon pengantin, tapi cukup dengan memercikkan saja air yang berisi haruman tujuh kembang itu di beberapa tempat ditubuhnya.  

Tata busana 
Untuk melaksanakan acara ini calon pengantin wanita didandani dengan busana khusus yang disebut baju tokah dan bersunting rendah. Tokah adalah semacam selendang yang dibalutkan menyilang di dada sehingga bagian-bagian bahu dan lengan nampak terbuka. Untuk serasi dengan suasana, maka orang-orang yang hadir biasanya juga mengenakan baju-baju khusus. Teluk belanga bagi pria dan baju kurung ringan bagi wanita, begitu juga ayah bunda dari calon anak daro. Disamping itu biasanya juga disiapkan beberapa orang teman-teman sebaya anak daro yang sengaja diberi berpakaian adat Minang untuk lebih menyemarakkan suasana.  

Tata cara 
Jika acara mandi-mandi dilaksanakan secara simbolis maka di salah satu ruangan di atas rumah ditempatkan sebuah kursi dengan payung kuning terkembang melindunginya. Sesudah sembahyang Magrib kalau tamu-tamu sudah cukup hadir, maka calon anak daro yang telah didandani dibawa keluar dari kamarnya, diapit oleh gadis-gadis kawan sebayanya yang berpakaian adat. Untuk memberikan warna Islami, keluarnya calon anak daro dari kamarnya ini disambut oleh kelompok kesenian yang mendendangkan salawat Nabi yang mengiringkannya sampai duduk di kursi yang telah disediakan. Seorang dari saudaranya yang laki-laki, apakah kakaknya atau adiknya, berdiri dibelakangnya memegang payung kuning. Ini maknanya ialah bahwa saudara laki-laki yang kelak akan menjadi mamak bagi anak-anak yang akan dilahirkan oleh calon pengantin merupakan tungganai rumah yang bertanggung jawab untuk melindungi dan menjaga kehormatan saudara-saudaranya dan kemenakan-kemenakannya yang wanita. Setelah itu dua wanita saudara-saudara ibunya berdiri mengapit dikiri kanan sambil memegang kain simpai. Ini maknanya : menurut sistem kekerabatan matrilinial, saudara-saudara ibu yang wanita adalah pewaris pusako yang berkedudukan sama dengan ibu anak daro. Karena itu dia juga berkewajiban untuk melindungi anak daro dari segala aib yang bisa menimbulkan gunjingan yang dapat merusak integritas kaum seperinduan. Walaupun acara mandi-mandi dilaksanakan secara simbolik, kecuali ayah kandungnya maka orang-orang yang diminta untuk memandikan dengan cara memercikkan air haruman tujuh macam bunga kepada calon pengantin wanita ini hanya ditentukan untuk perempuan-perempuan tua dari keluarga terdekat anak daro dan dari pihak bakonya. Jumlahnya harus ganjil. Umpamanya lima, tujuh atau sembilan orang. Dan yang terakhir melakukannya adalah ayah ibunya. Jumlah ganjilnya ini ditetapkan sesuai dengan kepercayaan nenek moyang dahulu yang mungkin mengambil pedoman dari kekuasaan Tuhan dan peristiwa alam, atau karena angka-angka ganjil selalu berhubungan dengan peristiwa-peristiwa sakral. Seperti sembahyang lima waktu, langit berlapis tujuh, sorga yang paling diidamkan oleh seorang Muslim juga sorga ketujuh. Tawaf keliling Ka’bah dan Sa’i pulang balik antara Safa dan Marwa dilaksanakan juga tujuh kali. Pada beberapa kenagarian calon anak daro yang akan dimandikan itu selain disiram dengan air yang berisi racikan tujuh kembang, maka tubuhnya juga dibaluti dengan tujuh lapis kain basahan yang berbeda-beda warnanya. Setiap kali satu orang tua selesai menyiramkan air ketubuhnya, maka satu balutan kain dibuka, dst.’ Jika acara mandi-mandi ini dilaksanakan secara simbolik, maka air haruman tujuh bunga itu dipercikkan ketubuh calon anak daro dengan mempergunakan daun sitawa sidingin. Tumbukan daun ini dikampung-kampung sering dipakai diluar maupun diminum, ia berkhasiat untuk menurunkan panas badan. Karena itu disebut daun sitawa sidingin. Acara memandikan calon anak daro ini diakhiri oleh ibu bapaknya. Setelah itu kedua orang tuanya itu akan langsung membimbing puterinya melangkah menuju ke pelaminan ditempat mana acara bainai akan dilangsungkan. Perjalanan ini akan ditempuh melewati kain jajakan kuning yang terbentang dari kursi tempat mandi-mandi ke tempat pelaminan. Langkah diatur sangat pelan-pelan sekali karena kedua orang tua harus menghayati betul acara itu yang mengandung nilai-nilai simbolik yang sangat berarti. Setelah sekian tahun ia membesarkan dan membimbing puterinya dengan penuh kehormatan dan kasih sayang, maka malam itu adalah kesempatan terakhir ia dapat melakukan tugasnya sebagai ibu bapa, karena besok setelah akad nikah maka yang membimbingnya lagi adalah suaminya. Kain jajakan kuning ini setelah diinjak dan ditempuh oleh calon anak daro, segera digulung oleh saudara kali-lakinya yang tadi waktu acara mandi-mandi memegang payung kuning. Tindak penggulungan kain kuning itu mengandung harapan-harapan, bahwa si calon anak daro benar-benar melakukan perkawinan itu cukuplah satu kali itu saja seumur hidupnya. Kalaupun akan berulang, maka itu karena maut yang memisahkan mereka. 

Bainai 
Jika acara memandikan calon anak daro hanya dapat dilakukan oleh orang-orang tertentu saja, maka acara melekatkan tumbuhan inai ke kuku-kuku jari calon pengantin wanita Minang ini dapat dilakukan oleh siapa saja. Dapat pula dimintakan untuk dilaksanakan oleh tamu-tamu yang dihormati malam itu, bisa oleh keluarga calon besan. Ada beberapa kenagarian di SumBar, acara bainai ini juga dapat dilakukan bersamaan dengan mengikutsertakan calon pengantin pria. Tapi duduk mereka tidak disandingkan, dan kalaupun ada yang langsung mempersandingkan maka tempat calon pengantin pria tidak di sebelah kanan, tetapi di sebelah kiri calon pengantin wanita. Kuku jari yang diinai sama juga dengan acara mandi-mandi, harus ganjil jumlahnya. Paling banyak sembilan. Menurut tradisi di kampung dulu, kesempatan pada acara bainai ini setiap orang tua yang diminta untuk melekatkan inai ke jari calon anak daro setelah selesai biasanya mereka berbisik ke telinga anak daro. Bisikan-bisikan itu bisa berlangsung lama, bisa sangat singkat. Maksudnya mungkin untuk memberikan nasehat-nasehat yang sangat rahasia mengenai kehidupan berumahtangga, atau bisa juga hanya sekedar seloroh untuk membuat si calon anak daro tidak cemberut saja dihadapan orang ramai. Pelaksanaan kedua acara ini biasanya dipimpin oleh perempuan-perempuan yang memang telah ahli mengenai pekerjaan ini yang dibeberapa daerah di Sum Bar disebut uci-uci. Seringkali juga pada malam bainai ini acara dimeriahkan dengan menampilkan kesenian-kesenian tradisional Minang. Di daerah pantai Sum Bar, hiburan yang ditampilkan lazimnya ialah musik gamat dengan irama yang hampir sama dengan lagu-lagu senandung dan joget Melayu Deli, sehingga mampu untuk mengundang orang secara spontan tegak menari menyambut selendang-selendang yang diulurkan oleh para penyanyi dan penari-penari wanita. 
  (Sumber : Tata Cara Perkawinan Adat Minangkabau)      


TRADISI HENNA DI INDONESIA episode ACEH : MALAM PEUGACA (malam berinai)

Malam Peugaca (Malam Berinai)
Arti dari malam peugaca adalah malam berinai menjelang Wolinto. Dalam upacara ini juga diadakan peusijuek calon dara baro (mempelai wanita), dan peusijuek gaca, bate mupeh (batu giling).
Maksud dari peusijuek adalah member dan menerima restu, serta mengharapkan keselamatan atas segala peristiwa yang telah dan akan terjadi.
Persediaan dan Makna:
Ä  Breuh Pade (Beras Padi) Melambangkan Kemakmuran
Ä  Naleung Sitambo (Rumput/ Gulma berakar kokoh) melambangkan kehidupan yang mendapat kemudahan dan kokoh dalam mepertahankan hidupnya.
Ä  On Gaca (daun pacar/ inai) melambangkan isteri sebagai obat pelipur lara sekaligus sebagai perhiasan rumah tangga.
Ä  On Seunijuek (daun cocor bebek) melambangkan kesejukan.
Ä  Buluekat kuneng (Ketan Kuning) Melambangkan kesuburan, kedamaian dan menonjol dalam kehidupan.
Ä  On Murong (daun kelor) lambing penangkal ilmu hitam.
Ä  On Manek Mano sebagai pelengkap dan memeriahkan suasana.
Seluruh daun-daun diikat menjadi satu atau dua ikat dan ditempatkan dalam mangkok besar yang berisi air. Bunga rampai, beras, padi ditempatkan dalam piring kecil. Kemudian mangkok dan piring di letakkan didalam dalong dan ditutup dengan tudung saji, lalu ditutup dengan seuhap (kain segi empat bersulam emas atau perak dipakai untuk menutupi tudung saji).
Daun pacar yang sudah di lepas dari tangkainya, ditempatkan dalam piring besar didalam dalong lain. Batu giling diletakkan pada “tika meusujo”dan dialas kain.
Upacara peugaca ini biasanya dilaksankan pada malam hari selama 3-7 malam, semua perlengkapan ditempatkan dipiring yang telah dihias didalam dalong pada tika meusujo (tikar kerawang khas Aceh). Busana yang dikenakan oleh dara baro pada upacara malam peugaca tidak terikat dan terus berganti-ganti dari malam pertama hingga malam ketujuh.

TRADISI HENNA DI INDONESIA episode BUGIS : MAPPACCI

Mappacci

Upacara adat mappacci dilaksanakan pada waktu tudampenni, menjelang acara akad nikah/ijab kabul keesokan harinya. Upacara mappacci adalah salah satu upacara adat Bugis yang dalam pelaksanaannya menggunakan daun pacar (Lawsania alba), atau Pacci. Sebelum kegiatan ini dilaksanakan biasanya dilakukan dulu dengan mappanré temme (khatam Al-Quran) dan barazanji. Daun pacci ini dikaitkan dengan kata paccing yang makananya adalah kebersihan dan kesucian. Dengan demikian pelaksanaan mappacci mengandung makna akan kebersihan raga dan kesucian jiwa. Sebagaimana yang tertera dalam ungkapan bahasa Bugis yang mengatakan bahwa:

Mappacci iyanaritu gau’ ripakkéonroi nallari ade’, mancaji gau’ mabbiasa, tampu’ sennu-sennuang, ri nia’ akkatta madécéng mammuaréi naiyya nalétéi pammasé Déwata Séuwaé
Adapun urutan dan tata cara mappacci adalah sebagai berikut :
Sebelum acara mappacci dimulai, biasanya dilakukan padduppa (penjemputan) mempelai. Calon mempelai dipersilakan oleh Protokol atau juru bicara keluarga:
Patarakkai mai bélo tudangeng
Naripatudang siapi siata
Taué silélé uttu patudangeng
Padattudang mappacci siléo-leo
Riwenni tudang mpenni kuaritu
Paccingi sia datu bélo tudangeng
Ripatajang mai bottinngngé
Naripattéru cokkong ri lamming lakko ulaweng
Ungkapan ini berarti:
Calon mempelai dipersilakan menuju pelaminan. Pelaminan di sisi para pendamping. Duduk saling berdekatan satu sama lain. Mereka duduk bersuka ria di malam tudampenni, mappacci pada sang raja/ratu mempelai nan rupawan. Tuntunlah dan bimbinglah sang raja/ratu menuju pelaminan yang bertahtakan emas.
Dalam pelaksanaan mappacci disiapkan perlengkapan yang kesemuanya mengandung arti makna simbolis seperti:
• Sebuah bantal atau pengalas kepala yang diletakkan di depan calon pengantin, yang memiliki makna penghormatan atau martabat, kemuliaan dalam bahasa Bugis berarti mappakalebbi.
• Sarung sutera 7 lembar yang tersusun di atas bantal yang mengandung arti harga diri.
• Di atas bnatal diletakkan pucuk daun pisang yang melambangkan kehidupan yang berkesinambungan dan lestari.
• Di atas pucuk daun pisang diletakkan pula daun nangka sebanyak 7 atau 9 lembar sebagai permakna ménasa atau harapan.
• Sebuah piring yang berisi Wenno yaitu beras yang disangrai hingga mengembang sebagai simbol berkembang dengan baik sesuai dengan arti bahasa Bugisnya (mpenno rialéi).
• Tai bani, patti atau lilin yang bermakna sebagai suluh penerang, juga diartikan sebagai simbol kehidupan lebah yang senantiasa rukun dan tidak saling mengganggu.
• Daun pacar atau pacci sebagai simbol dari kebersihan dan kesucian. Penggunaan pacci ini menandakan bahwa calon mempelai telah bersih dan suci hatinya untuk menempuh akad nikah keesokan harinya dan kehidupan selanjutnya sebagai sepasang suami istri hingga ajal menjemput. Daunpacar atau pacci yang telah dihaluskan ini disimpan dalam wadah bekkeng sebagai permaknaan dari kesatuan jiwa atau kerukunan dalam kehidupan keluarga dan kehidupan masayarakat.
Pelaksanaan
Orang-orang yang diminta untuk meletakkan pacci pada calon mempelai biasanya adalah keluarga mempelai dan orang-orang yang mempunyai kedudukan sosial yang baik dan punya kehidupan kehidupan rumah tangga yang bahagia. Semua ini mengandung makna agar calon mempelai kelak di kemudian hari dapat hidup bahagia seperti mereka yang meletakkan pacci di atas tangannya.
Jumlah orang yang meletakkan pacci ke tangan calon mempelai adalah biasanya disesuaikan dengan stratifikasi sosial calon mempelai itu sendiri. Untuk golongan bangsawan tertinggi jumlahnya 2 x 9 orang atau dalam istilah Bugis “duakkaséra”. Untuk golongan bangsawan menengah sebanyak 2 x 7 orang atau “duappitu”. Sedangkan untuk golongan di bawahnya bisa 1 x 9 atau 1 x 7 orang.
Cara memberi pacci kepada calon mempelai adalah sebagai berikut:
Diambil sedikit daun pacci yang telah dihaluskan (telah dibentuk bulat supaya praktis), lalu diletakkan daun dan diusap ke tangan calon mempelai. Pertama ke telapak tangan kanan, kemudian telapak tangan kiri, lalu disertai dengan doa semoga calon mempelai kelak dapat hidup dengan bahagia. Kemudian kepada orang yang telah memberikan pacci diserahkan rokok sebagai penghormatan. Dahulu disuguhi sirih yang telah dilipat-lipat lengkap dengan segala isinya. Tetapi karena sekarang ini sudah jarang orang yang memakan sirih maka diganti dengan rokok.
Sekali-kali indo’ botting menghamburkan wenno kepada calon memepelai atau mereka yang meletakkan daunpacar tadi dapat pula menghamburkan wenno yang disertai dengan doa. Biasanya upacara mappacci didahului dengan pembacaan Barzanji sebagai pernyataan syukur kepada Allah SWT dan sanjungan kepada Nabiyullah Muhammad SAW atas nikmat Islam.
Setelah semua selesai meletakkan pacci ke telapak tangan calon mempelai maka tamu-tamu disuguhi dengan kue-kue tradisional yang diletakkan dalam bosara.

MAPPACCI
Sehari sebelum akad nikah berlangsung, dilangsungkan acara mappacci atau tudampenni. Upacara mappacci adalah salah satu upacara adat Bugis yang dalam pelaksanaannya menggunakan daun pacar (lawsania alba) atau dalam bahasa Bugis disebut pacci.
Sebelum acara ini digelar biasanya dilakukan dulu penamatan al-Quran (mappanre temme) dan barazanji. Daun pacar atau pacci ini dikaitkan dengan kata paccing yang bermakna kebersihan dan kesucian. Dengan demikian upacara mappaccing ini dimaknai sebagai upacara untuk membersihkan atau mensucikan calon pengantin.
Acara mappaccing ini dimulai dengan paddupa (penjemputan) mempelai. Dengan syair tertentu mempelai akan dijemput dan diantar ke tempat yang telah tersedia. Di pelaminan tersedia benda-benda sebagai berikut:
  1. Sebuah bantal atau pengalas kepala yang diletakkan di depan calon mempelai yang bermakna penghormatan atau martabat. Dalam bahasa Bugis disebut mappakalebbi.
  2. Sarung sutera 7 lembar yang disusun di atas bantal. Ini bermakna harga diri.
  3. Di atas bantal diletakkan pucuk daun pisang yang melambangkan kehidupan yang berkesinambungan dan lestari.
  4. Di atas daun pisang diletakkan daun nangka sebanyak 7 atau 9 lembar sebagai makna menasa atau harapan.
  5. Sebuah piring berisi beras yang disangrai hingga mengembang sebagai simbol berkembang dengan baik.
  6. Tai bani, patti atau lilin yang bermakna sebagai penerang.
  7. Serta daun pacar yang bermakna kesucian dan kebersihan.
Pelaksanaan mappaccing kemudian dimulai, satu persatu keluarga dekat atau orang-orang yang dihormati akan naik ke pelaminan secara bergantian untuk mengusapkan daun pacar ke tangan mempelai. Jumlah orang yang melakukan mappacci beragam sesuai strata sosial. Untuk golongan bangsawan tinggi jumlahnya 2×9 orang atau dalam bahasa Bugis disebut duakkesera, untuk golongan bangsawan menengah 2×7 orang atau duappitu. Golongan di bawahnya 1×9 tau 1×7.
Mereka yang memberi daun pacar akan mengusapkan daun pacar yang sudah tersedia ke tangan mempelai, dimulai dari telapak tangan kanan kemudian ke telapak tangan kiri sambil membacakan doa semoga mempelai kelak akan hidup bahagia. Untuk mereka yang telah memberi daun pacar diserahkan rokok sebagai penghormatan. Jamah dahulu penghormatan ini berupa daun sirih yang dilipat lengkap beserta isinya, tapi sekarang sudah diganti dengan rokok untuk lebih praktisnya.
sumber :  http://makassarnolkm.com/mengenal-tata-cara-pernikahan-adat-bone-2/